![]() |
Sumber gambar : Google |
Di
kampung halaman orang tua, saya tinggal bersama nenek dan tante. Nenek
yang memanjakan cucu-cucunya. Beliau senang sekali memasak sayur kol berwarna
ungu yang ditanamnya sendiri di pekarangan rumah. Kadang juga nenek membuat pisang bakar. Entah terbuat dari pisang jenis apa, sedikit kering
dan dibakar, menimbulkan aroma yang khas.
Ada
salah satu makanan untuk pertama kalinya dari neneklah saya mencicipi. Terbuat
dari sagu, parutan kelapa dan gula merah. Namanya Dinangoi. Bentuknya bundar,
berwarna putih dengan sedikit campuran noda cokelat kemerahan. Sagu yang
sudah dibersihkan, dipanggang di atas Dodangoyan (tempat panggang yang terbuat
dari tanah liat). Di atas sagu ditaburi kelapa parut, lalu dilapisi gula merah parut.
Kemudian ditekan dengan Dodangoyan yang lainnya agar mendapatkan tekstur padat.
Dinangoi lezat dimakan saat masih panas. Disantap saat duduk di teras rumah
menikmati pemandangan sore, hmmm…rasa manisnya romantis.
![]() |
Sumber gambar : Google |
Konon,
makanan ini pada masa kerajaan Bolaang Mongondow merupakan makanan mewah.
Bahkan Datu (raja) mempunyai kebun sagu sendiri yang cukup luas (Anuar, 2013).
Dinangoi menjadi makanan pengganti beras pada masa kemerdekaan sampai Bolaang Mongondow menjadi Kabupaten di
tahun 1958.
Sekarang
Dinangoi pun menjadi elit karena sulit didapatkan (entah mengapa). Namun, masih
ada beberapa yang membuat makanan ini sebagai kudapan sore favorit di rumah. Jika kamu berkunjung ke Kota Kotamobagu
(dulunya ibu kota Kabupaten Bolaaang Mongondow yang sekarang dimekarkan), wajib
untuk mencicipi kuliner khas yang menjadi makanan elit “pizza” ala Kerajaan
Bolaang Mongondow ini. Kuliner warisan leluhur yang wajib dilestarikan.
(Martika Sandra)
0 komentar:
Posting Komentar