Sudah
lama ingin berbagi tulisan di sini tentang MP-ASI, namun terkendala waktu dan
mood hahaha. Alhamdulillah semenjak ikut berbagai kelas menulis, cukup
memotivasi dan sangat memaksa diri untuk terus bisa menghasilkan tulisan dalam
bentuk apapun setiap hari. Untuk minggu ini tema tulisan saya tentang Martika’s
Kitchen (hehehe ini bukan tentang judul lagu dari penyanyi yang sama ya,
what???iyaaaa iyaaaa namanya memang mirip tapi bukan saya yang nyanyi). Ini
tidak sedang membahas judul lagu di dapur rekaman, melainkan dapurnya the
el-ghazys Mom.
Sekilas
nih ya tentang riwayat kehidupan the el-Ghazys Mom di dapur. Saya share sebagai pembelajaran nanti
terutama bagi readers yang sudah
menjadi ibu dan memiliki anak, baik anak perempuan maupun laki-laki. Bagaimana
yang terjadi dengan anak di kemudian hari berkaitan dengan kemampuannya, itu
sesungguhnya tidak lepas dari kontribusi orang tuanya sendiri.
Jadi,
dulu semasa gadis saya itu sama sekali tidak tahu masak selain masak air, telur,
supermie dan membuat jus. Itu saja skill
memasak saya. Bukannya malas atau sebagai bagian dari emansipasi wanita, bukan.
Ketika masih tinggal di Manado, rumah kami sering menjadi tempat persinggahan
dan kos-kosan gratis oleh kerabat orang tua yang datang dari kampung halaman.
Termasuk anak-anak mereka yang sedang kuliah atau bekerja di Manado. Dan
kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Mereka punya kebiasaaan jika tinggal
di rumah kerabat, mereka akan turut membantu kerabat tersebut dalam urusan
pekerjaan rumah tangga.
Salah
satu pekerjaan rumah tangga yang dimaksud adalah urusan dapur. Sehingga ibu
saya punya banyak “anak-anak” untuk membantu pekerjaannya di dapur. Dan saya?
Beberapa kali ingin bergabung tapi ibu justru menyuruh saya bermain atau
menonton saja. Ibu jarang mengajari saya bagaimana harus di dapur. Kalau pun mencoba
untuk belajar, biasanya ibu akan bilang “daripada hasilnya tambah kacau mending
kamu nonton saja”. Mungkin salah satu bentuk kasih sayang menurut kacamata
beliau.
Entah
ada hubungan atau tidak, tapi akhirnya untuk membersihkan ikan saja saya tidak
tahu. Membersihkan sayur, buah-buahan, dan lain-lain, saya tidak tahu sama sekali. Saya
tahunya hanya makan, makanan sudah tersedia rapi di atas meja. Padahal saya
kelak menikah kan harus tahu hal-hal seperti itu. Jadi saya pun berpikir,
sudahlah kalau memang tidak tahu masak toh sekarang banyak rumah makan yang
jualan makanan banyak variasi pula. Tak perlu repot-repot harus masak, lagian
saya bekerja di kantor. Dan keinginan untuk belajar masak pun sama sekali tidak
ada.
Hingga
suatu hari beberapa hari setelah menikah, entah apa yang menggerakkan kaki saya
untuk melangkah masuk ke sebuah pasar yang lumayan jauh dari rumah. Sebenarnya
suami tidak pernah menuntut saya harus memasak untuk dia, sebab sebelum menikah
sudah diberitahukan terlebih dahulu kenyataan hidup yang harus diterimanya dari
saya, hahaha. Setelah menikah, suami yang masih bertugas di luar daerah namun
masih dalam satu provinsi. Kedatangannya yang hanya seminggu sekali, membuat
saya ingin selalu memberikan kejutan dan hal terbaik yang bisa membuatnya
bahagia. Mungkin cinta dan tanggung jawablah yang menggerakan langkah saya
sore itu menuju pasar.
Dengan
perasaan bahagia menelusuri lorong-lorong dalam pasar yang cukup ramai itu (dan
saya sempat bingung dengan keanehan diri saya sore itu, what??Ikha masuk
pasar?hellowwww, tumbennnnn). Hampir dua kantong plastik penuh dengan
belanjaan, isinya sesuai bahan yang sebelumnya saya tanyakan ke tante termasuk
resepnya. Sebelumnya sudah duluan sms ke suami “mau dimasakin apa Kak?”
(cieeee…).
Waktu
menunjukkan pukul lima sore, di dapur sudah ada tante yang menemani karena
kebetulan sore itu Ibu belum datang dari luar kota. Sambil mencoba membersihkan
bahan makanan, mengamati setiap langkah demi langkah proses pembuatan Sayur
Labu Siam Santan. Tak lupa pulpen dan kertas untuk mencatat hal-hal penting
selama proses memasak berlangsung.
Beberapa
minggu kemudian, suami meminta saya untuk membuatkan lagi sayur tersebut. Kali
ini, tanpa tante. Sepulang belanja, semua bahan kubersihkan sendiri. Sambil
buku catatan terbuka manis di atas meja samping kompor. Dan akhirnya jadi juga
Sayur Labu Siam Santam buatanku. Dan mata saya terbelalak ketika melihat hasil
akhirnya. Warna sayur tersebut seperti warna cat dinding yang belum tercampur
air, kuning pekat. Oalaaaah, rupanya kunyit yang saya campurkan melebihi batas
maksimal.
(bersambung…)